Makalah Musik dan Sosial Lingkungan – Navicula

Posted on


Makalah Musik Navicula Band

BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
1. Aktualitas
Tidak terlalu sulit bagi kita untuk melihat perkembangan musik yang saat ini mulai menjangkau seluruh segmen kehidupan. Banyak produk jadi yang pengiklananannya mengandalkan musik, banyak misi sosial yang juga menggunakan musik sebagai media propaganda, bahkan politik. Pemilihan presiden RI 2014-2019 yang baru saja berakhir beberapa waktu lalu misalnya, tidak sedikit di antara musisi dalam dan luar negeri yang terlibat dalam kampanye. Musik rupanya juga telah dijadikan media penyampaian pesan-pesan pencapresan ke dua pasang calon.
Slank dan beberapa musisi lain misalnya, tak ragu untuk menciptakan “Salam Dua Jari” yang menyimbolkan dukungan mereka kepada Calon nomor urut dua. Terlihat usahanya untuk mengemas Musik berikut liriknya untuk mendeskripsikan kesederhanaan dan kebersahajaan sang calon. Begitu juga dengan calon satunya, Ahmad Dhani pun melakukan hal yang sama. Lirik dan musik rock yang mereka gunakan, seolah menggambarkan citra ketegasan dan keberanian yang diangkat pasangan nomor urut satu. Artinya hari ini musik sudah dipandang memiliki daya persuasi yang cukup kuat, dibalik posisi sosial dan nama besar sang musisi tentunya.
Sebagai penikmat musik, penulis melihat terjadi pergesaran peranan musik dewasa ini. Musik tak hanya sekedar didengar, tapi juga sebagai kekuatan untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Fakta sosial ini tentu menjadi lahan kajian yang cukup menarik untuk ditelaah lebih dalam. Alasan actual ini pula yang menjadi pendorong bagi penulis untuk memilih tema ini pada kasus Navicula, salah satu band indie Indonesia yang juga memiliki misi lain dalam bermusik, yaitu menyampaikan pesan lingkungan dan kemanusiaan pada masyarakat luas.
2. Orisinalitas
Penelitian berkisar tentang musik yang digunakan sebagai instrumen lahirnya sebuah gerakan sosial bukanlah suatu hal yang baru. Sejauh ini, penelitian yang memiliki keterkaitan dengan tema besar yang penulis angkat adalah penelitian yang dilakukan oleh Radianto1 (2011). Penelitian tersebut dilakukan untuk melihat dan menemukan bagaimana dampak simbol dari Tengkorak band terhadap penggemarnya.
1 Untuk informasi lebih lanjut lihat http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/56558?show=full
Adapun penulis secara garis besar memilih tema gerakan sosial dalam penelitian ini. Secara lebih spesifik, penulis mengangkat tema yang membalut gerakan sosial dan musik, bagaimana penggunaan musik sebagai strategi dalam gerakan sosial dapat dikategorikan dalam gerakan sosial baru. Singkat kata, penelitian ini melihat bagaimana masyarakat mencoba menyelesaikan permasalahan sosial dengan melakukan perubahan sosial menggunakan musik sebagai salah satu strategi. Fokus penelitian tadi penulis wujudkan dalam
sebuah penelitian yang berjudul “Musik Sebagai Gerakan Sosial Pelestarian Lingkungan (Studi Terhadap Grup Musik Navicula)”.
Alasan rasional penulis memilih Navicula sebagai objek kajian lebih dikarenakan band tersebut telah mengawinkan antara musik dan gerakan sosial secara intim. Hal tersebut terlihat dari aktivitas-aktivitas mereka yang tidak saja di atas panggung, akan tetapi hingga ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lebih lagi, aktivitas tersebut mereka lakukan telah begitu lama. Artinya, mereka bukanlah “anak kemaren sore” dalam melakukan hal-hal tersebut.
3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang sebelumnya bernama Ilmu Sosiatri merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kelainan-kelainan masyarakat dan bersamaan dengan itu berusaha melakukan penyembuhan. Sifat Ilmu Sosiatri yang memberikan perhatian pada pemecahan masalah-masalah sosial dan pembangunan masyarakat semakin mengukuhkan bahwa Ilmu Sosiati sebagai ilmu sosial terapan (Mudiyono, 2002:16).
Berangkat dari deskripsi tersebut, ada sebuah keterkaitan yang begitu erat antara Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dengan gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan salah satu upaya dalam menyembuhkan patalogis-patalogis sosial, melalui perubahan atau mencegah perubahan sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Secara lebih khusus terkait topik penelitian,
Navicula dalam hal ini berusaha mencegah kerusakan lingkungan melalui sebuah gerakan yang dilakukan dengan menggunakan musik sebagai alat.
B. Latar Belakang
Pada umumnya masyarakat mendambakan kondisi ideal yang merupakan tatanan kehidupan yang diinginkannya. Kondisi tersebut menggambarkan sebuah kehidupan yang di situ kebutuhan-kebutuhan dapat terpenuhi, suatu kondisi yang tidak lagi diwarnai kekhawatiran hari esok, kehidupan yang memberi iklim kondusif guna aktualisasi diri, dan untuk terwujudnya proses relasi sosial yang berkeadilan. Apabila kondisi yang diharapkan tersebut bertentangan dengan realitas, maka dapat dipastikan masalah sosial sedang terjadi. Oleh karena itu, berbagai upaya pemecahan selalu diusahakan untuk melakukan perbaikan dan perubahan terhadap realitas masalah sosial (Soetomo, 2009:1).
Adapun salah satu pemecahan masalah sosial ialah gerakan sosial. Hal ini dikarenakan gerakan sosial adalah proses perubahan (atau paling kurang, perubahan yang diupayakan) (Mirsel, 2004:14). Kondisi yang dirasa tidak sesuai dengan keinginan, diupayakan secara kolektif untuk dapat berubah sesuai keinginan. Ini didasari karena usaha kolektif lebih mampu merubah sebuah kondisi daripada jika harus melakukan secara individu. Artinya, setiap individu mencari orang lain yang sepaham dan satu tujuan untuk menjadi sebuah pergerakan massa yang dapat mempengaruhi pada perubahan yang akan dilakukan.
Perubahan yang dilakukan oleh pergerakan massa bahkan sudah lama ada dalam catatan sejarah umat manusia. Frank dan Fuentes (1987:1503) mengungkapkan bahwa rekaman peristiwa gerakan sosial telah terjadi sejak pemberontakan budak-budak Spartak di Roma, Perang Salib dan perang agama yang tak terhitung jumlahnya, gerakan/perjuangan petani Jerman di abad 16, konflik etnis dan negara di seluruh Eropa, serta gerakan perempuan yang melepaskan diri dari berbagai bentuk represi. Bahkan, Frank dan Fuentes (1987:1503) menambahkan sepanjang sejarah di Asia, dunia Arab dan ekspansi Islam, Afrika dan Amerika Latin, gerakan sosial telah menjadi agen perlawanan dan transformasi sosial.
Seiring perkembangan waktu, gerakan sosial semakin berkembang. Berbagai peristiwa gerakan sosial yang sebelumnya telah disebutkan di atas pada dasarnya adalah gerakan sosial yang masih menggunakan fitur-fitur lama. Hal ini dikarenakan fitur-fitur baru yang kerap dianggap terminologi dari gerakan sosial baru adalah gerakan lingkungan dan perdamaian (Frank dan Fuentes, 1987:1503). Frank dan Fuentes (1987:1503) mengungkapkan bahwa masuknya dua fitur tersebut dalam gerakan sosial lebih disebabkan oleh respon terhadap kebutuhan sosial yang telah dihasilkan oleh pembangunan global. Oleh karena itu, gerakan sosial yang menggunakan fitur-fitur lama sama sekali tidak menyinggung isu-isu lingkungan dan perdamaian.
Perbedaan antara gerakan sosial fitur lama dengan fitur baru tidak menjadi penghalang bagi massa untuk melakukan perubahan. Dewasa ini bahkan fitur-fitur tersebut telah bercampur baur satu sama lainnya. Artinya,
tidak menutup kemungkinan massa melakukan perubahan terkait ideologi bersamaan dengan perubahan terkait perdamaian. Meskipun demikian, terdapat satu benang merah penghubung antara gerakan sosial baru dan gerakan sosial lama, yakni musik. Kedua gerakan sosial tersebut pada dasarnya dapat dimanifestasikan dengan musik. Artinya, musik menjadi alat propaganda menuju perubahan. Roy (2010:x) mengungkapkan bahwa dalam sejarah gerakan sosial lama, musik telah memainkan peranan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari kasus keterlibatan musikolog Edward Small dalam gerakan komunis pada 1930-an dan 1940-an serta Tia DeNora, sosiolog musik, dalam gerakan hak sipil pada 1960-an, sedangkan dalam gerakan sosial baru ialah musisi folk kelahiran Amerika Serikat, Pete Seeger. Pete Seeger sepanjang hidupnya begitu aktif menentang perang Amerika Serikat di Vietnam dan mengadvokasi isu-isu soal lingkungan.2
2 http://www.berdikarionline.com/suluh/20140125/inilah-10-musisi-folk-berpengaruh.html diakses 31 Juli 2014.
Berbagai fakta yang telah disebutkan tadi hanyalah sedikit dari keterkaitan antara gerakan sosial dengan musik. Keterkaitan ini tentu bukanlah sembarang keterkaitan, karena musik dan gerakan sosial telah banyak dirayakan sebagai dua katalis yang dapat meningkatkan kondisi manusia dengan meningkatkan semangat dan meruntuhkan subordinasi (Roy, 2010:x). Artinya, musik bukan hanya sebuah dimensi sempit dari susunan nada-nada indah yang dimainkan. Lebih dari itu, musik juga mampu menjadi pengikat antara kehidupan manusia. Merriam (dikutip Sitowati, 2010:11) bahkan menggambarkan musik memiliki fungsi sebagai media ekspresi emosi,
kenikmatan estetik, hiburan, alat komunikasi, simbol dalam masyarakat, respon fisik, pengesahan institusi sosial dan agama, kontribusi untuk pengembangan dan pelestarian kebudayaan, serta untuk integrasi masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila musik merupakan bagian dari potret kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari sejarah beberapa aliran musik dalam kemunculannya. Beberapa di antaranya merupakan sebuah simbol pergerakan dari kelompok masyarakat.
Adapun salah satu aliran musik tersebut ialah jazz. Dalam sejarahnya, jazz adalah media perlawanan atas ketertindasan ras dan kelas sosial. Ras kulit hitam yang secara kelas sosial pada saat itu dianggap lebih rendah dibandingkan ras kulit putih melakukan perlawanan lewat media musik jazz.3 Pada masa itu, kaum kulit hitam memainkan musik jazz dengan improvisasi dan spontanitas yang sangat sesuai dengan jiwa mereka. Alhasil, tidaklah mengherankan bila nilai-nilai yang terkandung dalam musik jazz yang mereka mainkan adalah suara tentang mempertahankan hidup.
3 http://www.wartaJazz.com/opini-Jazz/2010/08/20/Jazz-media-perlawanan-atau-eksistensi diakses pada 31 oktober 2013.
Musik jazz yang dimainkan oleh kaum kulit hitam tersebut diperkirakan muncul pada tahun 1890-an, ketika bar di Amerika memainkan musik ragtime yang berkembang menjadi jazz di kemudian hari. Jenis musik ini tumbuh dari penggabungan blues, ragtime, dan musik Eropa, terutama musik band. Sebagai sebuah trend yang populer, jazz mulai digemari warga Amerika pada tahun 1920-an hingga tahun 1930-an. Musisi seperti Duke
Ellington Big Band dan Louis Armstrong adalah tokoh jazz yang mendunia pada periode tersebut. Seiring dengan perkembangan industri dunia musik, jazz telah mengalami perubahan. Teknik dan cara bermain jazz sekarang telah berkembang menjadi banyak sub-aliran. Hal yang sama pun terjadi dengan nilai-nilai jazz. Jika dahulu jazz merupakan musik perlawanan ras kulit hitam, maka sekarang jazz telah dimainkan oleh multi ras. Dapat dipastikan bahwa hampir seluruh negara di dunia kini telah memiliki penggemar jazz. Indonesia pun tidak luput dari semakin membludaknya pecinta jazz. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya event jazz di Indonesia, mulai dari skala komunitas (Jazz Mben Senen di Yogyakarta), nasional (Ngayog Jazz), hingga internasional (Java Jazz). Alhasil perubahan yang terjadi pada musik jazz berdampak terhadap semakin melencengnya semangat aliran musik ini dari sejarah awal kemunculannya. Jazz sekarang ini bahkan lebih dikenal sebagai musik bagi masyarakat menengah ke atas. Tidaklah mengherankan, sebagian pertunjukan musik beraroma jazz pada akhirnya mematok harga yang tinggi untuk dapat menikmatinya. Ironis tentunya, jika melihat akar sejarah jazz pada masa lampau.
Selain musik jazz, jenis musik yang memiliki akar dan sejarah pergerakan sosial adalah punk. Punk muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat, terutama kelompok anak muda, di pinggiran kota-kota Inggris terhadap kondisi keterpurukan ekonomi sekitar tahun 1976-1977.4 Fenomena
4 http://www.pasarkreasi.com/news/detail/music/123/sejarah-kelahiran-Punk diakses 31 Oktober 2013.
tersebut berawal dari kebijakan perdana menteri Inggris waktu itu, Margareth Thatcer, yang memperkenalkan perekonomian konservatif. Pilihan tersebut diambil sebab Inggris mengalami semacam krisis moneter atau resesi perekonomian. Namun, kebijakan yang diambil ternyata memiliki dampak yang buruk. Tingkat pengangguran justru semakin tinggi dan peluang maju bagi kaum muda sedikit sekali. Alhasil, kaum muda menyuarakan perlawanan melalui musik. Lirik-lirik bermuatan sosial dan kritikan sarkas menjadi ciri dari musik mereka. Lirik-lirik tersebut bahkan dinyanyikan dengan cara berteriak, serta gitar yang dimainkan dengan bising dan tempo yang cepat. Tidak ketinggalan, gaya hidup anti kemapanan dan gaya berbusana yang tidak lazim juga bagian dari kritik mereka atas kondisi yang terjadi di Inggris.
Generasi awal band punk di Inggris kala itu adalah Sex Pistols dan The Clash. Kedua band tersebut memiliki perbedaan walaupun sama-sama memainkan musik punk. Sex Pistols memainkan punk dengan lirik-lirik kotor dan musikalitas yang sederhana. Hal ini dapat dilihat dari salah satu lagunya yaitu ‘God Save the Queen’ (Tuhan Selamatkanlah Sang Ratu), yang berlirik “Tuhan selamatkanlah sang ratu dan rezimnya yang fasis…rezim itu bikin rakyat tolol”. Lagu tersebut merupakan sebuah hujatan terus terang dari suara rakyat yang menjadi bagian dari rezim fasis kerajaan Inggris, seolah menyindir dengan meminta Tuhan untuk menyelamatkan sang ratu. Adapun The Clash memainkan punk dengan lirik yang dianggap lebih cerdas dalam menyuarakan konten lirik dan teknik musikalitas yang tinggi untuk ukuran punk. The Clash mencampurkan beberapa elemen musik dari aliran lain seperti reggae, ska dan funk pada aransemen lagu mereka. Seiring dengan
perkembangan waktu, punk pun menyebar ke seluruh dunia. Alhasil, band punk seperti Ramones, The Stooges, dan MC5 muncul di Amerika. Perlahan tapi pasti, punk pun digunakan sebagai instrumen perlawanan terhadap permasalahan yang lebih luas, yakni ekonomi, budaya, sosial, politik serta hukum yang tidak menguntungkan kondisi masyarakat. Dalam pergerakan tersebut, punk begitu identik dengan konsep Do It Yourself (DIY), yang berarti mengerjakan sesuatu secara mandiri. Artinya, dalam kegiatan yang berhubungan dengan punk, para penggiat musik punk melakukannya secara mandiri, mulai dari merekam lagu, memproduksi, menjual, dan mempertukarkan ide-ide antar sesama penggemar punk. Salah satu contoh misalnya dengan memproduksi musik sendiri tanpa perlu meminta pada label besar. Para pegiat musik punk lebih memilih untuk merekam, menjual, dan membeli sebuah karya musik dari, oleh, dan untuk komunitas sendiri. Bagi mereka, inti dari bermusik bukan materi dan penjualan album, akan tetapi idealisme yang dapat disebar melalui sebuah karya.
Dalam konteks Indonesia, terdapat pula musik yang menjadi simbol perlawanan dan pergerakan di masyarakat. Musisi yang paling populer saat ini tentu saja Iwan Fals. Keterlibatan Iwan Fals dalam pergerakan dan perlawanan masyarakat tidak perlu dipertanyakan. Selama Orde Baru berkuasa, Iwan Fals begitu aktif menyurakan kondisi realitas masyarakat, mengkritisi pemerintahan, dan mengajak masyarakat sadar akan cengkraman penguasa
yang diktator. Bahkan, Iwan Fals saat ini mulai merambah pada kegiatan-kegiatan lingkungan.5
5http://entertainment.kompas.com/read/2010/07/10/21031414/Iwan.Fals.Tanam.Pohon.di.Situ.Gede diakses tanggal 31 Juli 2014.
6http://www.tempo.co/read/news/2014/07/07/219591016/Slank-Salam-2-Jari-Konser-Kemanusiaan-Terbesar diakses tanggal 30 Juli 2014.
Selain Iwan Fals, grup musik Slank juga telah cukup lama dikenal sebagai salah satu band yang terlibat dalam pergerakan di masyarakat. Lagu-lagu mereka begitu syarat akan kritik-kritik sosial. Grup musik ini juga terpilih sebagai Duta Anti Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuan dari penunjukan tersebut adalah kampanye tentang anti korupsi bagi masyarakat, terutama bagi penggemar Slank yang kebanyakan kaum muda, untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Salah satu di antara sekian banyak lagu mereka yang berkaitan langsung dengan kampanye anti korupsi adalah “Seperti Para Koruptor”, yang berceritakan tentang kehidupan koruptor yang kaya harta namun miskin cinta. Tidak hanya itu saja, hal yang paling fenomenal tentu saja bagaimana Slank mampu mengajak masyarakat untuk tidak golput pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014. Bahkan, keberpihakan Slank untuk menggerakkan masyarakat memilih Jokowi-Jusuf Kalla begitu jelas terlihat. Dalam kampanyenyan, Slank dan beberapa musisi tanah air menyelenggarakan Konser Salam Dua Jari. Stadion Gelora Bung Karno (GBK), sebagai tempat kegiatan, yang berkapasitas 88 ribu orang akhirnya dipadati oleh pendukung massa pendukung Jokowi-Jusuf Kalla.6
Musisi lain yang menyuarakan realitas masyarakat secara konsisten adalah Navicula. Navicula merupakan band beraliran grunge7 yang berasal dari Bali. Berbeda dengan kebanyakan band grunge pendahulu yang mempunyai lirik pengucilan diri dan sikap pesimistis, Navicula justru berbicara tentang semangat, perdamaian, kelestarian bumi, dan lingkungan.8 Navicula sangat peduli pada isu lingkungan hingga mendapat sebutan Green Grunge Gantleman mengacu pada aktivitas Navicula di bidang lingkungan. Navicula memutuskan untuk konsisten mengangkat tema-tema sosial dan lingkungan dan mengepakkan sayap untuk berkampanye dari panggung ke panggung.9 Jika beberapa musisi atau artis menjadi duta lingkungan hidup atau gerakan lingkungan hidup hanya sebagai simbol agar dapat disorot media, maka Navicula berbuat lebih dari itu.
7 Musik grunge merupakan musik beraliran alternative rock yang lahir dan berkembang di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Aliran ini secara musikalitas dipengaruhi berbagai aliran seperti punk, heavy metal, dan blues. Pada awalnya, grunge adalah istilah untuk menggambarkan musik yang berkembang di Seattle. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Mark Arm, vokalis band Mudhoney (Tarmawan, 2010:2).
8Pernyataan Putranto dalam youtube.com: Meet Navicula (http://www.youtube.com/watch?v=-KQvnLhqrOc) diakses tanggal 20 oktober 2013.
9http://www.antaranews.com/print/338166/Navicula-membela-lingkungan-dengan-bahasa-rockn-roll
Navicula tidak jarang turun langsung dalam kegiatan menjaga lingkungan. Keberadaan Navicula yang ada di Bali juga mempengaruhi cara pandang Navicula, karena Bali merupakan titik temu banyak kebudayaan dari seluruh dunia. Navicula banyak menyinggung isu lingkungan di lagu-lagu mereka. Navicula memang bukanlah satu-satunya musisi yang aktif dalam gerakan penyelamatan lingkungan. Dalam skala Internasional, ada misalnya
Sting, eks vokalis The Police, bersama istri Trudy Stiler yang membuat Yayasan Rainforest Foundation. Yayasan ini bergerak dibidang penyelamatan hutan hujan di seluruh dunia. Salah satu aksi nyata dari Rainforest Foundation adalah penyelamatan hutan hujan pada tahun 1993 dalam pengakuan hukum dan penetapan batas wilayah lebih dari 27.359 kilometer persegi.10 Namun, Sting memisahkan antara gerakan pelestarian lingkungan dengan musik, Navicula jusru mengintegrasikan antara gerakan pelestarian lingkungan dan musik satu sama lain. Artinya, Navicula bergerak seimbang untuk melakukan keduanya secara bersama-sama.
10 http://www.rainforestfoundationuk.org/Who_we_are) diakses 25 november 2013
11 Pernyataan Robi dalam youtube.com: “MATA HARIMAU” Navicula-Borneo Tour (http://www.youtube.com/watch?v=AX2hzGbDfU4) diakses 20 oktober 2013.
Pada tahun 2012, Navicula merilis album kompilasi Kami No Mori, yang dalam bahasa Jepang artinya hutan para dewa (Hidayat, 2013:58). Album tersebut berisi 12 lagu bertema lingkungan dari album-album Navicula sebelumnya dan beberapa materi baru seperti lagu Orang Utan dan Harimau! Harimau!. Album Kami No Mori dirilis sebagai bentuk promosi tur Borneo. Navicula diutus Imag Magazine untuk menuliskan tentang lingkungan, hutan hujan dan Taman Nasional Gunung Leuser, sehingga Navicula memutuskan untuk sekaligus melakukan tur di Kalimantan.11 Navicula merilis Album “Kami No Mori” sebagai paket bagi mereka yang ikut berperan serta dalam sebuah proyek Crowfounding melalui situs Kickstarter.com. Pada awalnya, Navicula terbentur kendala dana untuk melakukan tur tersebut, akan tetapi Navicula pada akhirnya bisa mengumpulkan dukungan US$ 3.154 untuk
menggelar tur mandiri ke Kalimantan (Hidayat, 2013:56). Tur Kalimantan dimulai 18 September 2012 setelah Navicula merampungkan tur di Kanada. Di Kalimantan, Navicula melintasi 2500 km dalam 12 hari sepanjang Kalimantan Tengah hingga berakhir di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dalam tur Kalimantan, Navicula tidak sendiri, karena pada waktu yang sama Greenpeace Indonesia juga sedang menggelar “Tour Kepak Sayap Enggang, Tour Mata Harimau Seri Kalimantan” (Hidayat, 2013:56). Rombongan dengan motor melintasi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah memotret kondisi alam dan masyarakat Kalimantan. Navicula bersama rombongan Greenpeace yang bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mengantarkan Navicula bersua dengan kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam konflik dengan perusahaan tambang atau perkebunan kelapa sawit (Hidayat, 2013:56). Masyarakat mengeluhkan pembabatan hutan yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit, karena bagi masyarakat sekitar, hutan tersebut merupakan warisan bagi anak cucu mereka. Dampak lingkungan yang ditimbulkan ialah kerusakan ekosistem lingkungan yang ada. Jenis-jenis tanaman dan hewan akan kehilangan tempat tinggal. Contohnya adalah Orang Utan yang semakin terancam punah akibat pembantaian yang dilakukan oknum atas perintah pihak perkebunan kelapa sawit.
Berbagai hal keterlibatan Navicula yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, harus diakui telah mampu menempatkan Navicula sebagai salah satu band yang mampu menjadi motor gerakan sosial. Navicula mengupayakan perubahan pada kondisi lingkungan yang semakin hari
memburuk. Artinya, Navicula berupaya untuk mempengaruhi masyarakat melalui musik yang mereka produksi dan kampanye yang mereka lakukan di panggung-panggung. Adapun musik menjadi sebuah alat Navicula untuk dapat menyuarakan gagasan-gagasan pelestarian lingkungan. Serangkaian kegiatan tersebut sudah tentu bukanlah perkara mudah, mengingat jalur independen merupakan sarana pilihan Navicula dalam merilis album.12 Berbeda halnya dengan setiap aktivitas yang dilakukan Iwan Fals maupun Slank dalam merangkul masyarakat untuk menciptakan sebuah perubahan atau menghambat perubahan, tentu tidaklah terlalu sulit. Pertimbangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari faktor popularitas mereka. Selain itu, baik Iwan Fals dan Slank merupakan musisi yang berkarier di bawah payung label musik besar. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui bagaimana Navicula memaknai musik, pemahaman Navicula tentang lingkungan yang diekspresikan dalam karya, serta motif di balik Navicula mengekspresikan lirik bertema lingkungan dan apakah lantas aksi tersebut diikuti oleh fans dalam aksi nyata.
12 Pada album keempat yang berjudul “Alkemis”, dirilis tahun 1994, Navicula sempat bergabung dalam salah satu major label, yaitu Sony-BMG. Namun, major label tidak membuat Navicula betah, sehingga pada album kelima yang berjudul “Beautiful Rebel”, Navicula kembali ke jalur independen. Bahkan, vokalis Robi pernah sedikit skeptis waktu mencicipi major label ditahun 2005-2006 (Hidayat, 2013:57).
C. Rumusan Masalah
Fenomena Navicula sebagai grup musik yang mendorong pendengar musik Navicula untuk melakukan gerakan sosial dengan menggunakan musik sebagai alat. Musik merupakan produk utama dari
sebuah grup musik. Peneliti ingin mengetahui pemaknaan musik bagi Navicula:
1. Bagaimana Navicula memahami musik?
2. Bagaimana pemahaman Navicula tentang lingkungan dan diekspresikan dalam karya?
3. Apa motif dibalik Navicula mengekspresikan lirik bertema lingkungan dan apakah aksi tersebut diikuti oleh fans dalam aksi nyata?
D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tingkat pemahaman musisi yang aktif dalam gerakan sosial terhadap musik.
2. Mengetahui tingkat pemahaman musisi yang aktif dalam gerakan sosial terkait permasalahan lingkungan.
3. Mengetahui motif musisi dalam gerakan sosial dan tindaklanjut dari fans terhadap gerakan tersebut.
E. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan menyumbangkan pemikiran ilmiah bagi perkembangan gerakan sosial, baik itu dalam proses belajar mengajar di perkuliahan, diskusi, maupun pemahaman bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis

Diharapkan cerita dari Navicula yang penulis interpretasikan ini dapat menjadi salah satu referensi bagi segenap kalangan yang ingin melakukan gerakan sosial melalui musik. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang pengaruh musik bagi pendengar musik.
F. Tinjauan Pustaka
1. Gerakan Sosial

Sejarah perkembangan dunia tidak dapat dipisahkan dari gerakan sosial, karena gerakan sosial dalam perkembangan sejarah umat manusia telah digunakan untuk dapat memperjuangkan sebuah perubahan atau sebuah usaha untuk menghambat perubahan di dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Markoff (2002:44) bahwa suatu gerakan sosial dapat dikatakan terbuka apabila ada pernyataan yang secara eksplisit mengajak ke arah perubahan. Titik pijak dari hal tersebut adalah kondisi yang dirasa tidak sesuai dengan keinginginan, sehingga membuat adanya usaha secara kolektif untuk dapat berubah menjadi sesuai keinginan. Menurut Robert Mirsel (2004) bahwa gerakan kemasyarakatan adalah seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (noninstitutionalised) yang
dilakukan sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam suatu masyarakat.Tidak terlembaga mengandung arti mereka cenderung tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku umum secara luas dan sah di dalam suatu masyarakat
Penekanan terhadap usaha kolektif dalam gerakan sosial sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan agar semakin terwujudnya sebuah perubahan. Sudah bukan rahasia lagi bila usaha yang menyatu dari tangan-tangan setiap individu lebih kuat dalam merubah suatu kondisi jika dibandingkan dengan sepasang tangan individu. Setiap individu mencari orang lain yang sepaham dan satu tujuan untuk menjadi sebuah pergerakan massa yang dapat mempengaruhi pada perubahan yang akan dilakukan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gidden (dikutip Suharko, 2006:3) bahwa gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama, melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Adanya aspek di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan dalam pemaparan Gidden tentu saja tidak dapat dilepaskan dari struktur dominan yang ingin dianggap mengancam/merusak. Artinya, gerakan sosial bertujuan untuk mengatasi masalah sosial yang ada di dalam masyarakat, baik itu yang sedang berpotensi maupun yang sedang berjalan. Tarrow (dikutip Suharko, 2006:3) menyebut upaya perubahan tersebut dengan tantangan-tantangan kolektif, sehingga aspek yang ada di dalamnya harus didasarkan pada tujuan bersama dan solidaritas sosial, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan para elit, penentang dan pemegang wewenang.
Tarrow (dikutip Hasanuddin, 2011:62-63) menekankan bahwa pada dasarnya gerakan sosial memiliki karakteristik: (a) menyusun aksi disruptive melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain, dan aturan-aturan budaya tertentu; (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap lawan, penguasa, dan kelompok elite; (c) berakar pada solidaritas atau identitas kolektif; (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai terjadi gerakan sosial.
Para ahli memahami bahwa gerakan sosial merupakan gejala yang begitu kompleks. Pemahaman ini mengantarkan pentingnya pembahasan yang bersifat komprehensif dan integral antara political opportunity structure (SKP), resources mobilization theory, dan collective action frames (McAdam, McCarthy, dan Zald, dikutip Hidayat, 2012:120). Ketiga hal tersebut merupakan faktor dari muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial.
Political opportunity structure (struktur kesempatan politik, SKP) merupakan sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi struktur politik dalam hal tertentu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan suatu gerakan sosial. Jadi, suatu gerakan sosial tergantung pada keadaan SKP itu sendiri. Dalam hal ini, SKP menjadi ruang multidimensi yang gerakan sosial dan tindakannya bisa saja dimudahkan (facilitated) atau bisa saja direpresi (dihambat), sehingga tak bisa berkembang (repressed) (Oliver, dikutip Hidayat, 2012:120).
Secara umum, hambatan atau kesempatan politik bagi suatu gerakan sosial dapat dipilah ke dalam dua kategori, yakni pola hubungan tertutup dan pola hubungan terbuka. Pola tertutup menciptakan hambatan bagi gerakan sosial, sedangkan pola terbuka membuka kesempatan bagi munculnya gerakan akibat dari politik yang lebih kompetitif antara elite, antara partai politik, dan juga antara kelompok kepentingan. Semakin terbuka iklim politik, semakin memberikan kesempatan untuk muncul dan berkembangnya gerakan sosial; dan sebaliknya, semakin tertutup iklim politik, semakin tertutup kesempatan muncul dan berkembangnya suatu gerakan sosial13 (Muhtadi; Kriesi dikutip Hidayat, 2012: 120-121).
13 Yang dimaksud sebagai iklim politik yang terbuka dan tertutup di sini adalah aksesibilitas sistem politik yang ada secara insittusional. Semakin mudah diakses suatu sistem politik maka semakin terbuka iklim politiknya dan sebaliknya (Kriesi, dikutip Hidayat, 2012:201)
Kondisi struktural yang kondusif tidaklah cukup bagi perkembangan suatu gerakan sosial. Gerakan sosial juga memerlukan apa yang disebut sebagai bagian dari pengemasan ideologi untuk dapat diterima berbagai pihak. Inilah yang disebut collective action frames yang merupakan bagian dari sebuah proses framing dalam gerakan sosial, yakni semacam skema intepretasi yang merupakan sekumpulan beliefs and meanings dan berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan melegitimasi aktivitas sebuah organisasi gerakan sosial. Dalam hal ini, kerangka (frame) dibangun untuk memberikan makna dan menginterpretasi kejadian atau kondisi tertentu, yang dimaksudkan untuk memobilisasi potensi pengikut, serta untuk mendapatkan dukungan berbagai pihak (Benford dan Snow; Snow, dikutip Hidayat, 2012:121).
Berkaitan dengan proses framing, Benford dan Snow (dikutip Hidayat, 2012:121) menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian utama, yang disebut core framing tasks. Pertama adalah diacnostic framing, yaitu yang dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai situasi dan kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi mengenai apa atau siapa yang disalahkan, sehingga membutuhkan adanya suatu perubahan (Benford dan Snow, dikutip Hidayat, 2012:121). Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan permasalahan-permasalahan apa saja yang menjadi isu utama yang membuat mereka menginginkan adanya perubahan (Hidayat, 2012:121).
Kedua, prognostic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam aktivitas prognostic framingini gerakan sosial juga melakukan berbagai penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi-solusi yang ditawarkan (Benford dan Snow, dikutip Hidayat, 2012:121). Terakhir adalah motivational framing, yaitu elaborasi panggilan untuk bergerak atau dasar untuk terlibat dalam usaha memperbaiki keadaan melalui tindakan kolektif (Hidayat, 2012:121-122).
Selanjutnya, setiap gerakan sosial tentunya membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas kolektifnya. Dalam hal ini, gerakan sosial memiliki beberapa tugas penting seperti memobilisasi pendukung, mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih jauh—berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara umum terhadap cita-cita gerakan. Inilah konsep yang disebut resources
mobilization (Opp ; Jenkins, dikutip Hidayat, 2012:122). Konsep ini secara mendasar berusaha mengetahui bagaimana sebuah kelompok mengupayakan resources yang mereka miliki untuk bisa melakukan perubahan sosial dan tercapainya tujuan kelompok (Edwards dan McCarthy, dikutip Hidayat, 2012:122). Konsep ini berusaha melihat dorongan upaya, baik secara kolektif maupun individual, yang muncul sebagai bagian dari pencapaian tujuan yang dimiliki oleh gerakan sosial (Hidayat, 2012:122).
Resources sendiri sebenarnya memiliki makna yang begitu luas. Resources dapat terdiri dari kekuatan finansial, akses terhadap media, dukungan simpatisan, loyalitas grup. Ia juga bisa terdiri dari kepemilikan ruang/gedung, pengetahuan (stock of knowledge), dan skill (keahlian) yang dimiliki oleh aktor (Opp dikutip Hidayat, 2012:122), termasuk di dalamnya ideologi dan nilai gerakan (Hidayat, 2012:122).
Resources adalah “goods” dalam terminologi ekonomi. Hanya saja hal itu dimaknai dalam arti yang lebih luas, yakni sesuatu yang memiliki nilai manfaat (utility). Namun, tidak semua hal yang memiliki nilai manfaat bisa disebut sebagai resources. Hal itu baru bisa disebut sebagai resources ketika individu atau aktor kolektif bisa mengontrolnya dan memanfaatkannya guna tercapainya tujuan gerakan (Hidayat, 2012:122).
Kerangka resources mobilization ini menjelaskan dua aspek sekaligus. Pertama, mengenai sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun finansial yang dimiliki oleh sebuah gerakan seperti bangunan, uang,
pengetahuan, atau keahlian tertentu. Sumber daya tersebut bisa dikontrol baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi merupakan suatu proses tak terpisahkan yang para aktornya berusaha memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan dari gerakan (Hidayat, 2012:122).
Dalam perkembangan kajian gerakan sosial, data tentang peluang politik, struktur mobilisasi dan proses framing saja tidak cukup untuk menjelaskan keberhasilan dan kegagalan gerakan. McAdam dkk (dikutip Hasanuddin, 2011:70-71) mencatat bahwa keberhasilan dan kegagalan gerakan sangat tergantung pada kemampuan organisasi gerakan menghadirkan tiga faktor organisasional berikut.
Pertama, taktik mengganggu (disruptive tactics). Sejumlah studi memberikan indikasi kuat bahwa taktik yang inovatif dan disruptif memiliki kaitan dengan efektivitas gerakan sosial. Ini terjadi karena gerakan sosial pada umumnya tidak memiliki sumberdaya yang memadai seperti dana, suara dan akses, sehingga saluran-saluran yang masuk akal (proper channels) tidak bisa dipergunakan. Studi McAdam menunjukkan bahwa taktik seperti aksi duduk (the sit-ins), pawai kebebasan (freedom rides), mampu menarik perhatian pihak-pihak lawan dalam gerakan kebebasan sipil di AS (Hasanuddin, 2011:70-71).
Kedua, pengaruh sayap radikal (radical flank effects). Suatu gerakan biasanya juga mampu memetik keuntungan dari adanya pengaruh sayap radikal yakni pengaruh yang dibawa oleh kehadiran kelompok
ekstrimis di dalam gerakan bersama-sama dengan kelompok yang lebih moderat. Pengaruh seperti ini misalnya dapat dilihat dalam aliansi antara negara dan gerakan sosial. Dalam merespon suatu gerakan sosial, negara biasanya hanya mau berhubungan dengan para pemimpin dan organisasi yang berbicara atas nama gerakan yang dianggap bisa menjadi rekan negosiasi yang terpercaya. Dalam situasi semacam ini kehadiran kelompok ‘radikal’ atau ‘ekstrimis’ bisa memberikan legitimasi dan memperkuat daya tawar kelompok yang ‘moderat’ (Hasanuddin, 2011:71).
Ketiga, tujuan (goals). Dalam upaya membangun hubungan yang berhasil dengan lingkungan politik dan organisasi yang lebih luas, organisasi gerakan sosial mendasarkan pada tujuan organisasinya. Respon dan reaksi dari pihak-pihak utama lain seperti negara, pihak lawan gerakan, media, dan sebagainya, umumnya dibentuk oleh apa yang dinyatakan dalam tujuan organisasi gerakan sosial. Apa yang dinyatakan dalam tujuan bisa dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kepentingan sejumlah kelompok atau kesempatan untuk realisasi kepentingan bagi kelompok lain. Karena itu, oposisi dan dukungan yang diperoleh oleh organisasi gerakan sosial sebenarnya dibentuk oleh persepsi tentang ancaman dan kesempatan yang melekat dalam tujuan kelompok gerakan (Hasanuddin, 2011:71).
Robert Mirsel dalam buku teori pergerakan sosial membagi gerakan sosial dalam dua periode. Periode pertama dan kedua digolongkan dalam gerakan sosial lama dan periode ketiga termasuk dalam gerakan dekonstruksi atau gerakan sosial baru. gerakan sosial pertama berkutat
pada gerakan-gerakan sosial yang terjadi pasca perang dunia pertama. Studi yang dilakukan oleh mirsel pada periode ini berkutat pada individu dalam gerakan. Periode pertama ditandai dengan adanya titik temu bersama antara beberapa kekuatan, yakni pertama, pandangan yang negatif mengenai gerakan kemasyarakatan dengan munculnya peranan Nazisme, Fasisme, Stalinisme, dan McCartyhisme, serta perlawanan para ilmuwan terhadap kerusuhan-kerusuhan berbau rasial, tindakan-tindakan main hakim sendiri dan prasangka etnosentris; kedua pengaruh paradigm-paradigma mikro dalam sosiologi; ketiga, psikoanalisis terhadap studi-studi mengenai proses-proses interpersonal, dengan penekanan lebih lanjut pada akar irasional dan tindakan manusia; dan keempat, bertumbuhnya penelitian survei, yang memusatkan perhatian pada tingkah laku individual sebagai obyek fundamental dari setiap studi tentang gerakan kemasyarakatan (Mirsel 2004:32).
Gerakan sosial dalam periode pertama masih pada kelompok-kelompok kecil sehingga keberhasilan dari gerakan tersebut belum dapat dicapai. Kelompok kecil tersebut terdiri dari kelompok atas dasar kekeluargaan, atau kedaerahan. Pada periode kedua fokus gerakan adalah pada gerakan strukstural. Tujuan dari gerakan sosial adalah tujuan yang bersifat rasional. Faktor utama didalam perilaku gerakan adalah Struktur peluang politik (political opportunity structure), atau bentuk-bentuk lembaga politik, yang bisa saja memaksa strategi gerakan untuk mengikuti pola yang tergaris dan terstruktur (Mirsel 2004:57).
2. Musik dan Gerakan

Musik adalah suatu hasil karya seni berupa bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur pokok musik yaitu irama, melodi, harmoni, dan bentuk atau struktur lagu serta ekspresi sebagai suatu kesatuan ekspresi (Jamalus, 1988:1). Hal yang hampir senada diungkapkan oleh (Setyawan, 2013:189) bahwa musik adalah satu media ungkapan kesenian yang di dalamnya terkandung nilai dan norma-norma yang menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal maupun informal.
Penekanan Setyawan terhadap kata “media” menandakan bahwa musik tidak dapat dilepaskan dari pemusik dan pendengar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebuah musik merupakan hasil/karya dari pemusik yang kemudian disampaikan kepada pendengar. Namun, musik tidaklah seperti selongsong kosong. Penyampaian Setyawan terhadap nilai dan norma bahkan ditegaskan oleh Bernstein & Picker (dikutip Setyawan, 2013:195). Bernstein & Picker (dikutip Setyawan, 2013:195) mengungkapkan bahwa musik adalah suara-suara yang diorganisasikan dalam waktu dan memiliki nilai seni dan dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan ide dan emosi dari komposer kepada pendengarnya. Artinya, dalam musik terdapat nilai seni yang diciptakan pemusik dan disampaikan kemudian kepada pendengar.
Sanjaya (2013:186) mengungkapkan bahwa musik tercipta karena ada pesan yang hendak disampaikan oleh pemusik. Pemusik mempunyai ide, gagasan, atau pengalaman yang hendak disampaikan kepada orang
lain melalui musik. Sementara itu orang lain bisa menerima musik tersebut bukan semata-mata karena musik tersebut sudah dibuat dan siap dinikmati, akan tetapi lebih jauh lagi ada kebutuhan yang terpenuhi dengan menikmati musik tertentu.
Sanjaya (2013:186) menambahkan bahwa ada beberapa fungsi musik, yang pertama adalah mengungkapkan pengalaman fisik maupun pengalaman emosional. Maka dari itu, tidak mengherankan jika sangat banyak pemusik yang memasukkan tema cinta dalam liriknya. Cinta adalah suatu yang sangat luas artinya dan berlaku universal. Setiap orang pasti pernah mempunyai pengalaman cinta. Meskipun demikian, tidak semua musik berasal dari pengalaman pribadi anggotanya. Banyak musik yang timbul dari pengalaman orang lain, berdasarkan pengalaman tersebut kemudian dituangkan menjadi sebuah musik yang utuh.
Fungsi yang kedua adalah mengungkapkan ide-ide, pemusik yang bisa mengungkapkan ide-ide, biasanya adalah pemusik yang kritis. Pesan dimunculkan dalam musik, karena ada sesuatu yang kurang benar yang perlu diperbaiki. Ide bisa muncul dari keinginan untuk mengubah atau memperbaiki sesuatu yang sudah ada atau bahkan memunculkan sesuatu yang baru (Sanjaya, 2013:186).
Alhasil, sebuah muara yang mampu dapat dirangkum berdasarkan hal di atas adalah musik dapat digunakan sebagai media komunikasi, baik itu pengalaman emosional maupun ide-ide kritis. Musik sebagai komunikasi mengutamakan aspek bahasa dari pada aspek musikalnya.
Bahasa (teks) adalah aspek yang paling mendukung dan paling menentukan untuk memahami dan mengerti arti dan maksud musik tersebut. Pendengar akan mengerti alam pikiran penyaji dari teks (bahasa) yang dinyanyikan suatu musik (Jasahdin dikutip Setyawan, 2013:191). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila Gretchen (dikutip Setyawan, 2013:192) menyatakan bahwa lagu dapat digunakan untuk memprovokasi atau sarana propaganda untuk mendapatkan dukungan serta mempermainkan emosi dan perasaan seseorang dengan tujuan menanamkan sikap atau nilai yang kemudian dapat dirasakan orang sebagai hal yang wajar, benar dan tepat.
Dalam sebuah struktur kesempatan politik (SKP), musik sudah tentu dapat menjadi pemicu gerakan sosial. Struktur politik, baik itu yang dimudahkan maupun dihambat, tidaklah menjadi permasalahan. Artinya, berkembangnya gerakan sosial sangatlah memungkinkan. Hal ini dikarenakan dalam sebuah sistem yang represif, Tarrow (dikutip Suharko, 2006:5) justru mengungkapkan bahwa gerakan sosial masih dapat hadir, akan tetapi lebih condong disimbolkan dengan slogan, corak pakaian dan musik, atau penamaan baru objek-objek yang familiar dengan simbol yang berbeda atau baru. Musik dalam konteks tersebut hadir sebagai sarana propaganda, sehingga tercipta sebuah solidaritas sosial bagi orang banyak.
Hubungan antara musik dan musisi dengan gerakan sosial bukanlah sesuatu yang baru. Hubungan musik dan gerakan sosial tersebut banyak bermula dari studi terkait bekas blok Soviet, dan musik serta musisi berperan dalam memberikan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa dan bahkan mengorganisisir tindakan oposisi (Wicke; Ramet;
Cushman; Sheeran; Szemere; Steinbergh; Urban, dikutip Street et, al. 2008:273). Walaupun berbagai kajian tersebut berbeda dalam banyak hal, kajian tersebut tetap cenderung pada fitur umum. Ini menjadi bukti bahwa musik dapat digunakan sebagai alat ungkapan resistensi politik dan oposisi yang terorganisir. Berbagai kajian tersebut harus diakui memang terbatas pada negara-negara non demokratis. Meskipun demikian, bukan berarti peran musik dalam negara-negara demokrasi sama sekali nihil. Sebagaian besar peran musik di negara demokrasi difokuskan pada gerakan hak-hak sipil (Ward; Saul, dikutip Street et, al. 2008:273), akan tetapi fokusnya juga meluas pada gerakan kiri populer di Amerika Serikat (Denisoff; Denning, dikutip Street et, al. 2008:273) dan kampanye perlucutan senjata nuklir di Inggris (McKay dikutip Street et, al. 2008:273). Tidak ketinggalan, ada survei yang lebih umum terkait penggunaan musik dalam politik yang demokratis dan non demokratis (di antara yang paling baru adalah Garofalo; Rosenthal; Fischlin dan Heble; Randall; Penddie, dikutip Street et, al. 2008:273).
Berbagai kajian tersebut sudah tentu sangatlah berbahaya apabila digeneralisasikan, karena ada jarak yang berbeda. Namun, fakta justru menunjukkan bahwa ada sebuah asosiasi musik dengan penyebab dan gerakan politik, mengidentifikasi musik tertentu yang terlibat, sentimen yang terkandung dalam lirik, dan tujuan politik yang ingin dicapai. Oleh karena itu, hal ini mengarah kepada salah satu dari dua pendekatan. Pertama adalah penggunaan musik sebagai cara melihat kehidupan batin partisipasi politik (Street et, al. 2008:273. Oleh karena itu, Ward (dikutip
Street et, al. 2008:273) menjelaskan bahwa dalam studinya tentang hubungan musik dengan gerakan hak sipil di AS, bahwa musik menawarkan gambaran sekilas keadaan kesadaran kaum kulit hitam dalam perjuangan untuk menuntut kesetaraan. Pendekatan alternatif lainnya adalah untuk menyajikan musik sebagai penyebab partisipasi. Ramet (dikutip Street et, al. 2008:273) misalnya menjelaskan bahwa di Blok Soviet, musik adalah kekuatan yang tidak terduga perubahan sosial dan politik. Dia juga menambahkan bahwa musik membawa orang secara bersama-sama dan membangkitkan orang bersama-sama pengalaman emosional kolektif.
Roy (2010:x) mengungkapkan bahwa musik dan gerakan sosial telah banyak dirayakan sebagai dua katalis yang dapat meningkatkan kondisi manusia dengan meningkatkan semangat dan meruntuhkan subordinasi. Bahkan, kegiatan yang berkaitan dengan gerakan jarang tanpa adanya lagu kebebasan. Hampir semua gerakan menggunakan musik, karena musik merupakan perekat solidaritas sosial, sirene memanggil anggota baru, dan ekspresi kerinduan terhadap kebebasan dan kesetaraan (Roy, 2010:181).
Lagu-lagu propaganda digunakan sebagai alat penyebarluaskan opini yang bersifat simpel, tetapi implikasinya bersifat kompleks. Pandangan ini berkaitan dengan teori yang menyatakan bahwa lagu-lagu propaganda sebagai media komunikasi guna menyampaikan pesan tertentu kepada massa untuk mengimbangi kekuatan propaganda musuh di dalam ajang perang urat saraf (Sastropoetro dikutip Mintargo, 2003:105).
Sebagai sarana propaganda, kedudukan pemain dan peserta di dalam seni pertunjukan ini terlibat seluruhnya, hingga bisa disebut sebagai Art of Participation (Soedarsono dikutip Mintargo, 2003:105). Dalam hal ini, lagu-lagu propaganda bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap realitas yang sedang dihadapi ataupun dirasakan kepada khalayak ramai. Tidak hanya itu, aktor-aktor yang menjadi penyebab permasalahan sosial juga diwartakan kepada orang banyak. Harapannya, massa mengetahui aktor yang ingin disasar, sehingga pemahaman dan tujuan yang sama dapat tercipta. Dengan kata lain, musik ditempatkan sebagai diacnostic framing guna terwujudnya gerakan sosial. Pada sisi lain, musik dapat juga sebagai prognostic framing. Dalam sebuah lagu, tidak jarang solusi dari sebuah permasalahan juga diwacanakan. Hal ini tentu sangat penting, agar proses pemahaman dan tujuan yang telah dilakukan tidak tumpul. Hal yang terakhir ialah musik dapat juga sebagai motivational framing. Proses penyadaran terhadap masalah yang ada, aktor yang disasar, dan adanya solusi yang ditawarkan, kemudian menggerakkan massa untuk terjun dalam melakukan perubahan ataupun menghambat sebuah perubahan.
Meskipun demikian, peran musik dalam gerakan sosial sangatlah bergantung kepada musisi yang mewacanakan sebuah isu. Lagu-lagu propaganda yang disampaikan kepada pendengar tidak akan ada artinya ketika musisi sebagai aktor penggerak tidak mampu untuk mengontrol/mengelola resources yang dimiliki. Hal ini diungkapkan oleh Opp maupun Jenkins (dikutip Hidayat, 2012:122), di mana setiap gerakan sosial membutuhkan sumber daya untuk bisa menjalankan aktivitas
kolektifnya. Adapun fungsi dari sumber daya tersebut adalah memobilisasi pendukung, mengorganisasi sumber daya, yang—dalam level yang lebih jauh—berdampak pada munculnya simpati elite-elite dan masyarakat secara umum terhadap cita-cita gerakan. Oleh karena itu, musisi yang menjadi pemercik api dalam lagu propaganda harus mampu memobilisi pengikutnya dalam melakukan perubahan, menciptakan ide-ide baru (baik dalam lirik lagu maupun tindakan/aksi perubahan), menghimpun dana ataupun mengelola dana dalam usaha melakukan perubahan, dan sebagainya. Hidayat (2012:122) menyebutkan bahwa pada dasarnya sumber daya tadi terdiri dari dua aspek sekaligus. Pertama, mengenai sumberdaya fisik, non-fisik, ataupun finansial yang dimiliki oleh sebuah gerakan seperti bangunan, uang, pengetahuan, atau keahlian tertentu. Sumber daya tersebut bisa dikontrol baik secara individual maupun kolektif oleh kelompok. Kedua, mobilisasi merupakan suatu proses tak terpisahkan yang para aktornya berusaha memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk mencapai tujuan dari gerakan.
3. Navicula Sebagai Gerakan Sosial Baru

Gerakan Sosial Baru (GSB) muncul sebagai respon terhadap peralihan bentuk-bentuk gerakan sosial kontemporer di negara-negara Barat yang berkaitan dengan berkembangnya suatu dunia pasca-modern atau pasca industrial (Pichardo, dikutip Suharko, 2006:8). Para ahli melihat bahwa gerakan sosial di Barat memiliki watak tampilan yang berubah dari gerakan sosial sebelumnya (gerakan sosial lama/klasik/tradisional). Gerakan sosial tradisional cenderung memiliki
tujuan ekonomis-materialis sebagaimana tercermin dari gerakan kaum buruh. Adapun GSB lebih berpusat pada tujuan-tujuan non-material. GSB biasanya menekankan pada perubahan-perubahan dalam gaya hidup dan kebudayaan daripada mendorong perubahan secera spesifik dalam kebijakan publik atau perubahan ekonomi, sebagaimana tercermin dari gerakan lingkungan, anti-perang, perdamian, feminisme, dan sejenisnya (Nash dikutip Suharko, 2006:8-9).
Seiring dengan perkembangan waktu, GSB ternyata terjadi juga di negara berkembang, meskipun latar dan konteks perkembangan masyarakatnya berbeda (Suharko, 2006:9). Merujuk pada Pichardo maupun Singh (dikutip Suharko, 2006:9) ciri menonjol yang membedakan gerakan sosial lama dengan GSB sebagai berikut.
Pertama, ideologi dan tujuan. GSB menanggalkan orientasi ideologi kuat yang melekat pada gerakan sosial lama, sebagaimana sering terungkap dalam ungkapan „anti kapitalisme?, „revolusi kelas?, dan „perjuangan kelas?. Dengan penekanan pada isu-isu spesifik yang non-materialis, GSB tampil sebagai perjuangan lintas kelas. Singh (dikutip Suharko, 2006:10) juga menambahkan bahwa GSB adalah respon terhadap hadir dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk hampir ke dalam relung kehidupan warga, yakni pasar dan negara. Oleh karena itu, GSB membangkitkan isu pertahanan diri komunitas dari ekspansi aparat negara dan pasar yang makin meningkat (Suharko, 2006:9-10).
Kedua, taktik dan pengorganisasian. GSB umumnya tidak lagi mengikuti pengorganisasian serikat buruh industi dan model politk kepartaian. GSB lebih memilih saluran di luar politik normal, menerapkan taktik yang menggangu, dan memobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar politik. Para aktivis GSB juga cenderung menggunakan demontsrasi secara dramatis dan direncanakan matang sebelumnya, lengkap dengan kostum dan representasi simboliknya (Suharko, 2006:10).
Ketiga, struktur. GSB berupaya membangun struktur yang merefleksikan bentuk pemerintah representatif yang mereka inginkan. GSB mengorganisasi diri mereka dalam gaya yang mengalir dan tidak kaku untuk menghindari bahaya oligarkisasi. Mereka berupaya merotasi kepemimpinan, melakukan pemungutan suara untuk semua isu, dan memiliki organisasi ad hoc yang tidak permanen. Mereka juga mengembangkan fomat yang tidak birokratis sambil berargumen bahwa birokrasi modern telah membawa kepada kondisi dehumanisasi. Singkatnya, mereka menyerukan dan menciptakan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan individu, yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi, dan non-hirarkis (Suharko, 2006:11).
Keempat, partisipan atau aktor. Partsipan GSB melintasi berbagai basis sosial, seperi gender, pendidikan, kelas. Artinya, mereka tidak terkotak-kotakkan. Namun, ada kesan yang kuat bila partisan GSB adalah kalangan kelas menengah baru, sebuah strata sosial yang muncul belakangan yang bekerja di sektor-sektor ekonomi non-produktif
(baca:bukan ekonomi pabrikan). Mereka yang termasuk kelompok ini umumnya tidak terikat pada motif-motif keuntungan korporasi dan tidak tergantung pada dunia korporasi untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka umumnya bekerja di sektor-sektor yang bergantung pada belanja negara, seperti kaum akademia, seniman, agen-agen pelayanan kemanusiaan, dan mereka umumnya kaum terdidik (Pichardo, dikutip Suharko, 2006:11-12)
Adapun aktor-aktor GSB sebagaimana dikemukakan oleh Offe (Singh, dikutip Suharko, 2006:12) dicirikan secara jelas oleh penolakan mereka terhadap basis identifikasi diri yang mapan, yang dalam bahasa politik sering disebut „kiri? atau „kanan?, „liberal? atau konservatif?. Para aktor GSB juga tidak dibatasi oleh gender, suku, umur, lokalitas, dan sebagainya. Menurut Offe, aktor atau partisipan GSB berasal dari tiga sektor: kelas menengah baru, unsur-unsur kelas menengah lama (petani, pemilik toko, dan penghasil karya seni), dan orang-orang yang menempati posisi pinggiran yang tidak terlibat dalam pasar kerja, seperti mahasiswa, ibu rumah tangga, dan para pensiunan.
Dengan ciri-ciri tersebut, GSB menampakkan wajah yang plural. Hal tersebut dapat diketahui dari bentuk-bentuk aksi GSB yang menapaki banyak jalur, mencita-citakan banyak beragam tujuan, dan menyuarakan beragam kepentingan. Medan atau area aksi GSB juga melintasi batas-batas region, dari aras lokal hingga internasional, sehingga terbentuk gerakan transnasional. Oleh karena itu, cara mobilisasi mereka juga dilakukan bersifat global. Isu-isu yang menjadi kepedulian GSB melintasi
sekat-sekat bangsa dan masyarakat, bahkan melintasi dunia manusia menuju dunia alami. Dalam hal ini, GSB menampakkan wajah trans-manusia dengan mendukung kelestarian alam di mana manusia merupakan salah satu bagiannya. Ini terpantul dari gerakan-gerakan anti nuklir, lingkungan atau ekologi, perdamaian, dan sebagainya, yang menghamparkan kebersamaan warga dari beragam nasionalitas, kebudayaan, dan sistem politik (Singh, (dikutip Suharko, 2006:12).
Dalam konteks tujuan dari gerakan, Navicula bertujuan untuk mempertahankan kelestarian alam dan berusaha untuk menghambat kerusakan alam demi menjaga kehidupan yang berkelanjutan sesuai dengan apa yang dikatakan Singh (2001:96) bahwa gerakan Sosial Baru ditujukan untuk mempertahankan esensi dan memproteksi kondisi-kondisi yang mendukung bagi kehidupan kemanusian yang lebih baik.
Dilihat dari isu-isu yang diangkat menurut Pichardo (1997) gerakan sosial mengalami pergeseran dari isu-isu redistributif ke isu-isu kualitas hidup dan pasca material. Jika pada gerakan sosial lama isu-isu mengenai buruh, konflik antar kelas dan perebutan kekuasaan, maka pada gerakan sosial baru isu-isu populer seperti feminism, antirasisme, dan lingkungan. Navicula melakukan gerakan kebanyakan dengan mandiri dan tidak berusaha mengumpulkan keuntungan. Navicula pun berusaha untuk menyuarakan gerakan tentang lingkungan. Pelaku dari gerakan sosial lama pun berbeda dengan gerakan sosial baru. Jika pada gerakan sosial lama seperti yang dikemukakan Iwan Gardono Sujatmiko memfokuskan pada
isu yang berkaitan dengan materi dan biasanya terkait dengan satu kelompok (misalnya, petani atau buruh).
Pelaku gerakan sosial lama berada dalam satu kelas sosial sedangkan pelaku gerakan sosial baru berada dalam lintas kelas sosial seperti yang dikemukakan Singh (2001: 98-105) partisipan di dalam gerakan ini (GSB) berasal dari „kelas menengah baru? kaum terdidik, sering kali bekerjad di sektor-sektor nonproduksi, seperti akademisi, seniman, pekerja sosial kemanusiaan, LSM, dan kaum yang relative terdidik lainnya. Navicula berusaha mengajak penggemar Navicula yang kebanyakan berusia muda untuk peduli terhadap lingkungan. Latar belakang dari penggemar bukan hanya dalam satu level kelas sosial dan dari satu latar belakang karena yang menyatukan penggemar musik dengan musisi adalah kecintaan pada musik.
Pada teori gerakan sosial Mirsel, Navicula dapat digolongkan dalam gerakan sosial periode ketiga. Pada periode ketiga gerakan sosial tidak lagi berbasis pada satu kelas sosial tertentu. Penggemar Navicula merupakan kumpulan dari berbagai kelas sosial dengan pengikat adalah kesukaan pada musik Navicula. Menurut Mirsel, gerakan periode ketiga atau gerakan irasional, pada periode ini gerakan sosial mulai terorganisir. Masuknya para aktor sosial dalam gerakan membuat gerakan pada periode ini memiliki tujuan yang jelas. Robert Mirsel mengemukakan bahwa Penekanan diberikan lebih pada gerakan sebagai organisasi yang memiliki strategi yang rasional untuk mengubah kondisi-kondisi struktural tertentu (2004;117). Gerakan structural seperti gerakan buruh tumbuh dengan
hadirnya serikat-serikat sehingga mampu memobilisasi massa. Mobilisasi massa merupakan aktivitas utama untuk dijadikan alat dalam gerakan sosial.
Dalam gerakan ini, tidak lagi organisasi-organisasi dan mobilisasi massa oleh aktor sosial untuk menantang secara langsung menuju perubahan. Menurut Mirsel (2004: 119) gerakan-gerakan kemasyarakatan mesti dimengerti tidak hanya dalam kaitan dengan perilaku organisator tetapi juga dalam kaitan dengan system kepercayaan, ideologi, dan wacana-wacana yang berkembang. Navicula berusaha menanam benih pemikiran untuk melakukan gerakan pelestarian lingkungan dengan memberikan wacana-wacana terkait isu lingkungan.
Gerakan sosial yang dilakukan Navicula membutuhkan waktu yang panjang untuk melihat hasilnya. Sesuai dengan gerakan sosial periode ketiga, Robert Mirsel berpendapat bahwa untuk mengidentifikasi “sukses” atau “gagal”-nya sebuah gerakan kemasyarakatan mesti juga mencakup pembahasan keberlangsunganya dalam jangka waktu yang lebih panjang. Navicula menyebarkan isu lingkungan bukan hanya melalui lagu, secara konsisten Navicula berusaha mendorong isu dalam lagu melalui propaganda di media sosial seperti twitter, facebook dan setiap penampilan langsung.
Berdasarkan keseluruhan penjelasan sebelumnya dan jika melihat sepak terjang Navicula selama ini, maka apa yang dilakukan Navicula termasuk dalam gerakan sosial baru. Dalam konteks tujuan dari gerakan,
Navicula bertujuan untuk mempertahankan kelestarian alam dan berusaha untuk menghambat kerusakan alam demi menjaga kehidupan yang berkelanjutan. Navicula telah melakukan gerakan kebanyakan dengan mandiri dan tidak berusaha mengumpulkan keuntungan. Navicula menyebarkan isu lingkungan bukan hanya melalui lagu, secara konsisten Navicula berusaha mendorong isu dalam lagu melalui propaganda di media sosial seperti twitter, facebook, dan setiap penampilan langsung. Artinya, Navicula telah berusaha menanam benih pemikiran untuk melakukan gerakan pelestarian lingkungan dengan memberikan wacana-wacana terkait isu lingkungan. Navicula sebagai pemicu dari sebuah gerakan sosial juga tidak membuat sekat antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam upaya menyelamatkan lingkungan. Navicula justru berusaha mengajak penggemarnya yang lintas kelompok untuk peduli terhadap lingkungan. Latar belakang dari penggemar bukan hanya dalam satu level kelas sosial dan dari satu latar belakang karena yang menyatukan penggemar musik dengan musisi adalah kecintaan pada musik.

Satu respons untuk “Makalah Musik dan Sosial Lingkungan – Navicula

    Lirikallmusik said:
    21 Desember 2015 pukul 2:08 am

    terlalu panjang

    Disukai oleh 2 orang

Tinggalkan komentar